Hide and Seek
We are so free and happy when we were a child. Playing “hide and seek” in the ground, without worries and prejudice to others. As we grew older, we tend to hide and seek things in more complicated world. We are not a child anymore but we always seek those happiness and freedom like we had in our childhood. Off course, with different point of view and committed to such an integrated responsibility. As adults, we (still) hide things as well. Our limitation, secrecy, problem, and any other stuffs.
Basically, our life consists of hide and seek activity. So, let’s play hide and seek! Let’s celebrate a season of freedom and happiness with maximum integrity, integrated responsibility, and positive capacity.
So, if you are interested in playing hide and seek together, dont hesitate to visit:
http://www.dotkikifauzia.blogspot.com/
D.U.W.I.T.
Yesterday when I was praying ‘ashar’ in the office, I heard a friend of mine singing a song titled “All ’bout the Money” by Meja . The singer’s name is kinda cute (in Indonesian meaning), isn’t it? First, I felt like a bit annoyed, but, tonight I couldn’t agree more on that title and moreover explained more in the lyric. Yeah, it’s all about money.
MONEY. Tonight I was about counting my saving accounts and trying to calculate my expenditure budget in the near future. Yeah, Once again it’s all ’bout the money. I came to the conclusion that I have to make more money in order to fulfill my needs. It’s part of my principle that I don’t wanna bother my parents with all of these stuffs. I learned to be independent since I have my reguler own income. Thanks God, I can make a saving every months, for my own security and for an unpredictable budget.
It’s naive to say that money is not that important. I still believe that money complete us to be full-human being. I do agree that there’s more to live than money, such us faith, love, caring, compassion, happiness, family, and others stuff that worthed mentioned. But to be realistic, I (still) hold my first position that money is IMPORTANT!
I can do more great things by having that five words. I can give more charity with others, make more donation, help hopeless and homeless people, and many things which give more beneficial for others, not only for myself.
YEAH, ITS ALL ABOUT MONEY, and yeah GOD is Greatest and RichesT!!
** After uploading this blog, I undeliberately found this interesting qoute which I think somehow is TRUE.
“If money is your hope for independence you will never have it. The only real security that a man will have in this world is a reserve of knowledge, experience, and ability.” — Henry Ford
Egypt dalam Benakku
Tapi ada suatu kebutuhan yang aku lupakan. Bahasa Arab. Oh, bahasa ibadahku. Bahasa doa-doaku. Kadang miris sendiri. Bahasa yang berulang-ulang kulafalkan, sejak kecil kupelajari, namun tidak bisa yang melekat dalam otak dan hati. Sebenarnya penulisan paragraf di atas terilhami oleh suatu kekaguman dan ke-jealous-anku pada kakak angkatku yang telah lebih dulu menginjakkan kaki di bumi seberang sana.
Kemarin aku chat dengan saudara angkatkudi Amerika. Dia berkata sekarang kakaknya di Syiria mendapat beasiswa studi dan riset. Senangnya hati ini mendengarnya. Dia memang jenius dan sangat bright. Kakak angkatku yang sangat konsisten terhadap prinsip dan cita-citanya. Dia sudah meretas jalan menggapai apa yang diinginkanya dahulu. Yang lebih mencengangkan sekarang dia sudah sangat ahli berbahasa Arab. Berlipat-lipat kali pula kekagumanku.
FLASH BACK:
Tahun 2005 pertama kali aku mengenalnya. (Ohh ya Allah sudah lima tahun berlalu. Tidak kusangka waktu sungguh berlari kencang). Dia pribadi yang baik dan menyenangkan. Sangat kusayangkan tak cukup banyak waktuku untuk lebih mengenalnya dan mengalami kejadian bersamanya. Tapi yang paling aku ingat kala itu. Dia sangat benci George W. Bush, seperti halnya anggota keluarga angkatku yang lain. Yang lebih membuatku terkesima dia sangat concern dengan tanah Palestina. Bahkan yang kutahu dia tetap memperjuangkan keadilan bangsa Palestina melalui beberapa aktivitasnya di kampus. Dia juga pernah minta tolong diajarin bahasa Arab dan cara menulisnya. Tak akan pernah kulupa bagaimana dia bersorak ketika pertama kali berhasil menuliskan namanya sendiri dengan huruf Arab. Itu beberapa bulan setelah dia mulai kuliah di Universitas Coklat (terjemahkan ke English) di Pulau Rhode, Amerika.
Tahun 2006. Saat itu mungkin usianya masih 18 tahun. Dia bersikeras minta diizinkan berkelana ke Maroko. Bersama kekasihnya kala itu. Mereka berdua berangkat ke sana. Pulang dengan segudang cerita dan membawa buah tangan piring keramik Maroko untuk ibunya, ibu angkatku kala itu.
Tahun 2009. Aku iseng-iseng membuka buku-mukanya. Dia tidak aktif dengan account-nya. Tapi dia memajang beberapa album tentang beberapa negera di Timur Tengah. Dan dia pun sekarang di Damaskus, Syiria. Dan dia pun disana dengan ketajaman pikirnya, dengan kebaikannya, dengan Bahasa Arab-nya yang lancar. Dan dengan senyumnya yang sangat manis. Semanis Aston Kutcher, kata ibunya yang selalu membanggakannya. Dan, iya, dia memang manis.
Aku semakin ingin merasakan atmosfer di sana. Dalam benakku Mesir menjadi negara yang ingin selalu kutuju. Dalam benakku, aku ingin mempunyai persistensi dan konsistensi dalam meraih mimpi-mimpiku, keinginanku, dan apa yang benar ingin kuperjuangkan. Aku belajar banyak tentang itu dari kakak angkatku. Terimakasih my bro! Tidak percuma mengenalmu. Aku bangga (pernah) menjadi adik (angkat)-mu.
kebohongan dan kejujuran
Beberapa waktu lalu saya merasa bahagia sekali bisa ‘ber-bohong’. Rasanya puas dan bangga, terutama karena satu alasan yang simple; saya berhasil membohongi orang lain. Dan merupakan kebanggan dapat memenangkan lakon yang menegangkan dalam adu saling membohongi. Tidak hanya berhenti di situ. Ternyata kebohongan bisa diprediksi dan dipelajari. Dalam lakon saling membohongi itu saya belajar banyak hal. Yaah, cukuplaaah. Saya tidak perlu memerpanjang kebohongan saya dalam blog ini karena terlalu lama membohongi pembaca tentang kebohongan tersebut. Yap, ini adalah sebuah permainan. Permainan yang sangat silly, maybe, tapi juga sangat mengasah kejelian kita dalam memrediksi, mengamati, dan mengolah strategi. Memrediksi, kapan lawan berbohong atau jujur. Mengamati, gesture dan mimik wajah lawan. Mengolah strategi, kapan saat yang tepat untuk trust our friends atau tidak mempercayainya secara telak. Semua proses itu membuat kita semakin jeli. Ini hanya sebuah game yang sederhana, tapi bermakna. Saya memaknai itu sebagai simulasi dalam kehidupan yang kadang penuh kebohongan dan manipulasi. Semua disimulasikan di sini. Semakin kita mahir, semakin kita jeli. Jeli berarti peka terhadap keadaan dan bisa memutuskan dengan tepat. Bahkan, satu hal yang juga tak kalah penting, berhasil membohongi juga memerlukan nyali yang kuat, keberanian yang mantap untuk take a risk, mengambil resiko terhadap apa yang masih belum tersingkap. Dan, pada akhirnya kita semua pun akan ketagihan untuk ‘ber-bohong’. Dan ‘ber-bohong’ memang sangat menyenangkan.
Setelah nyaman dengan kebohongan-kebohongan, yang semakin menyenangkan, saya dipaksa untuk menjawab dengan penuh kejujuran. Kejujuran sangat kontras dan bertolak belakang dengan kebohongan. Ternyata, kejujuran lebih berwarna. Kejujuran bak lampu, yang semakin memperjelas dan menerangi kapasitas ‘pandang’ kita dalam memgenali suatu objek. Ada kode etik dalam melakukan kejujuran. Sesuai dengan namanya, kode etik ini menyaratkan setiap pelaku untuk berkata jujur. Entah itu dalam mulut, dalam hati, atau kedua-duanya.
Saya berusaha menikmati proses dan jalannya ‘kejujuran’ waktu itu. Namun, jujur, saya merasa ada sekelumit kepahitan yang berserak dalam tawa kecerian dan senyum kegetiran yang tertahan. Ini adalah tentang pengakuan dan kejujuran akan masa lalu. Masa lalu. Saya mungkin secara sepihak bisa menjustifikasi diri saya sendiri tentang tindakan benar atau salah. Lubuk kejujuran saya saat ini mengatakan bahwa ini memang saya secara utuh. Saya yang alami. Saya yang sejujurnya, tanpa dibuat-buat dan tanpa bertopeng. Yah, saya dari dahulu sampai sekarang tetap seperti ini. Yang berbeda mungkin pemahaman saya terhadap suatu hal. Tidak ada tendensi yang dibuat-dibuat. Tidak ada niatan untuk mengelabui. Karena saya memang menjadi diri saya sendiri. Saya jujur menjawab dan saya jujur mengakui itu adalah noktah dan bagian dari diri saya yang harus kalian kenali. Maka kenalilah saja dan kubur ekspektasi dalam tataran yang belum memahami.
Agak melenceng dari topik yang saya tulis. Saya jadi berpikir tentang masa lalu, kesalahan, dan pengalaman. Hidup merupakan pembelajaran. Dan pengalaman merupakan guru terbaik. Semua orang mungkin tahu dengan peribahasa itu. Lantas, dimanakah posisi kesalahan? Dari masa lalu dan pengalaman kita bisa ‘napak tilas’ di masa kini, dimana kesalahan itu berada. Jika kesalahan terletak pada saya, maka, dengan jujur dan berbesar hati saya dalam proses untuk memperbaiki diri, menjadi yang lebih baik, lebih, lebih, dan akhirnya, baik. Kesalahan orang lain pun bukan sepenuhnya milik orang lain. Karena kita menjadi bagian dalam ‘diagram Venn’ yang saling berasosiasi satu sama lain.
Pengalaman akan kesalahan masa lalu menjadi pelajaran berharga bagi masa depan yang lebih baik. Kebohongan dan kejujuran mempunyai perbedaan yang sangat tipis dalam praktiknya. Karena fungsi lidah yang tak bertulang dan hati yang tak terkendali. Namun yang paling membedakan adalah efek sesudahnya. Kejujuran menjadi kekuatan, nama baik, dan kebesaran seseorang. Ketenangan dan kelegaan yang meyertainya merupakan pembeda paling nyata. Sementara kebohongan hanya akan membuahkan kebohongan-kebohongan lain yang menyesakkan, menyengsaran, dan tidak memberkahi. Pun kata adik, “Orang yang terbiasa bohong merupakan golongan orang-orang yang sangat sulit untuk mendapat ilmu (sering lupa, juga)” Saya pun awas dengan itu.
– Selimut Kejujuran Malam 22;59 pm- Late January 2010.
JANUARI
Sangat bertolak belakang dengan tulisan yang saya post sebelum ini. Katanya ingin menjadi penulis, namun kenyataannya, mana karya yang saya bikin? Manaaaaaa?? Setelah mendeklarasikan tekad tersebut dalam blog, malah hasilnya NIHIL. Dan buktinya lagi.JANUARI.hampir pergi. Meninggalkan sebuah IRONI.
Dimanakah diri ini bulan Januari?
Yaa, masih saja di sini.
-Rahasia-
.. dalamnya LAUT dapat diduga,
dalamnya HATI siapa tahu…
…Penulis…
Saya mengidentifikasi diri sebagai seorang penikmat seni. Karena ternyata keinginan untuk menjadi seniman tidak kesampaian. Saya penikmat sastra. Sastra juga merupakan bagian dari seni. Seni merangkai kata, seni memilih diksi dan juga ajang ekspresi diri. Beberapa hari ini saya tiba-tiba sangat berhasrat untuk menulis. Menulis. Saya ingin menghasilkan karya seni sastra-yang bisa dinikmati, menggerakkan, dan menginspirasi. Saya masih pemula. Oleh karena itu saya sedang keranjingan untuk belajar. Belajar mengasah ketajaman sensitivitas diri dalam mengolah inspirasi dan refleksi. Tidak sengaja, saya menemukan sebuah tulisan yang saya tulis sekitar setahun lalu. Berisi tentang keinginan saya menjadi seorang kuli tinta. Sungguh lucu jika membacanya kembali, dan itu tetap saya amini hingga saat ini.
Bangganya menjadi seorang penulis…
Ku bermimpi. Suatu hari karya tulisku bakal terbit dalam suatu media. Dibaca oleh ribuan orang. Diiyakan oleh pembaca. Disanggah oleh kalangan yang kontra. Djadikan sebuah diskursus yang seru. Wow.. sepertina asyik dan keren sekali menjadi seorang penulis, wartawan, jurnalis, apalagi yang bertaraf internasional. Pasti sangat relevan dengan studi keilmuan yang aku pelajari sekarang. Kumembaca sastra, novel, buku,,semua yang bermutu dan juga tak bermutu. Disitu kata sangat bermakna. Setiap kalimat adalah senjata. Bertutur halus tentang kehidupan. Bisa juga menggertak tentang kepahitan dan perjuangan,..
….
….
ketika ‘ku malu pada hari itu
Ya Rabb, apa arti desiran ini?
Halus tapi sangat dahsyat menggetarkan syaraf inderawi
Aku malu, tertunduk dan tersipu
Entah, aku tak berani menatap
Aku pelan-pelan berucap
Dan, aku akan bersabar,
Menghindari yang subhat, meyakini yang halal
Jika malu adalah sebagian dari iman
Aku memilki sebagian iman kala itu
Dan kuberdoa selalu,
sebab dalam inginku kau melengkapinya sehingga yang sebagian menjadi utuh
yang menyempurnakan separuh dari agamaku, agamamu.
bernostalgia sore ini
di tempat ini. semua masih tampak sama. yang berbeda, hanya perubahan yang mengiringiku. perubahan yang menyertai orang-orang yang ada di sekitarku. tempat ini, masih berfungsi selayaknya yang dulu. dengan aroma yang sama, tekstur yang tak beda dengan asalnya. aku mengunjunginya lagi sore ini. lama tak kujamah. hanya menyapa dengan congkaknya ketika punggungku membopong antara tugas dan integritas, amanah dan kewajiban, harga diri dan kesombongan, kesendiran dan komunalisme. semua yang kadang berbalut tipis perbedaan. bagai dua sisi koin mata uang, yang satu media, tapi beda makna.
aku bernostalgia sore ini. meminggirkan dari aktivitas harian. di tempat ini aku menyalami kemelut diri. ketika kungkungan tugas memenjarakan jiwa malam ini dan malam-malam berikutnya. berpacu dengan waktu dan target diri. aku belajar menyadarkan diri. di tempat inilah seharusnya aku memposisikan diri. menjadi pembelajar sejati. yang haus akan ilmu dan kebijaksanaan. mencari makna kehidupan yang mendamaikan dan membahagiakan.
aku melarikan diri sore ini. mengharapkan inspirasi lagi. yag kuharap bukan hanya kata. tidak sekedar janji. ada pembuktian diri yang meleburkan cecaran, cacian, dan omongan gombal. aku hanya ingin menjadi diri sendiri. diriku yang terus berlari mengejar mimpi dan menabung kebaikan-kebaikan yang bermakna bagi kehidupan dan masa depan.
The Craft of Creativity
I found this chain of words on the store of mine, namely “the Craft of Creativity”. I wrote these poems on the year 2008.
Zig Zag
Antara zig dan zag Menurun dan naik Satu yang sangat sulit Garis kaku tak lengkung oleh waktu Walau terbujur layu Aku tetep merayu Pada waktu yang diam tertahan Suara bisikan meradang Perih, tertahan, kutahan, Kaku,,baku,,tak akan layu Hatiku membatu,, Air yang tak ada mengikis Begitulah aku, bagai batu Bicara pada waktu Bagai zig zag Kutarik garis lurus ke atas,ke bawah Sesuai alur,, Aku akan bertahan Alur, pola, kaku, tak lengkung oleh waktu
Manusia adalah Serigala
Manusia adalah serigala.. Diam-diam mengamati.. Mendekati, pelan-pelan Setiap mangsa yang mengiurkan Manusia adalah serigala Tak pandang siang ataupun malam Inderanya waspada Menangkap sinyal-sinyal marabahaya Namanya juga kelaparan Tak peduli kawan atau lawan Digilas bak santapan Yang terasa nyaman di kerongkongan Manusia terus mengaum Jiwanya resah oleh waktu Kematian akan sebegitu menakutkan Apalagi ketika malam datang
Kepada Orang Tua
Kepadamu semua citaku Kusandarkan demi sebuah senyuman Kuharap kau bangga Dan bisa lega Anakmu berdoa Semoga engkau selalu bahagia
Tuhan, Aku Malu
Aku tahu Kau mengamatiku kala itu Tapi aku mengacuhkan-Mu Aku asyik dengan waktu dan belaian rayu Sungguh nafsu membelenggu.. Kini hanya mengharap ampunan, Dan hidayah-Mu…
Peluh..
Kukayuh pedal semangat Cepat, cepat, darurat Aku hampir sekarat Nafasku tinggal seperempat Terengah-engah.. Aku melaju dalam derai peluh Hingga akhirnya kuterjatuh Dalam telaga jernih yang uuuhhh,, Segarnya…